Oleh: Rizalul Akbar
Ketua Yayasan Akselerasi Konsumen Cerdas (YAKC) Aceh
Kasus Pemalsuan mutu dan pengoplosan beras kembali mencuat di Indonesia, setelah Menteri Pertanian (Mentan) Bapak Andi Amran Sulaiman mengungkap temuan mencengangkan, sebanyak 212 merek beras diduga melakukan pengoplosan dan pelanggaran standar mutu, pada tanggal 14 juli 2025.
Sebanyak 212 merek tersebut temuan dari hasil pengujian terhadap 268 merek beras kemasan yang dilakukan di 13 laboratorium di 10 provinsi, bahkan 26 merek di antaranya sudah terang-terangan mengakui melakukan praktik pengoplosan beras.
Kondisi ini bukan sekedar temuan curang dalam perdangangan, tetapi juga soal kepercayaan publik terhadap mekanisme pengawasan pangan di negara kita Indonesia. banyak konsumen tidak punya banyak pilihan, selain membeli beras yang tersedia tanpa tahu apakah kualitasnya benar-benar sesuai standar, terutama di daerah-daerah.
Kasus ini juga memperlihatkan celah besar dalam sistem perlindungan konsumen di Indonesia, regulasi ada, tetapi dalam pengawasannya masih sangat lemah. Sehingga produsen yang curang bisa lolos, ini juga karena minimnya koordinasi antara pemerintah daerah, badan pengawasan, lembaga perlindungan konsumen.
Menurut ketua Yayasan Akselerasi Konsumen Cerdas (YAKC) Aceh, Rizalul Akbar, kasus ini menunjukan betapa rapuhnya perlindungan konsumen di Indonesia. pengawasan terhadap produk pangan, sehingga yang paling rugi adalah masyarakat luas. Seperti kasus beras oplosan ini, siapa yang rugi, yaitu konsumen yang mengalokasi dana lebih untuk kualitas yang baik, namun apa yang mereka terima tidak sesuai.
Negara juga berkewajiban untuk melindungi warganya, termasuk konsumen dari praktik-paktik yang merugikan. Pemerintah memiliki tanggung jawab untuk menciptakan lingkungan yang aman dan adil bagi konsumen, serta memastikan bahwa hak-hak dasar konsumen terpenuhi, termasuk untuk mendapatkan beras yang berkualitas.
Hal ini jelas diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pasal 3 Undang-Undang ini menyatakan bahwa pemerintah berkewajiban melindungi konsumen dari praktik-praktik yang merugikan. Selain itu, Pasal 4 juga menjamin hak-hak dasar konsumen, termasuk hak atas keamanan, informasi, dan ganti rugi.
Melihat skala dan dampaknya akibat beras oplosan ini, Rizalul mendorong agar kasus ini dijadikan momentum untuk mereformasi tata kelola perlindungan konsumen di sektor pangan. Perlunya keterlibatan multisektor dari Kementrian Pertanian, BPOM, Kemendag, hingga masyarakat sipil dan LSM dalam mengawasi dan menindak tegas pelanggaran yang merugikan masyarakat luas.
YAKC Aceh menyarankan bahwa pemerintah dan lembaga terkait untuk segera memperkuat sistem pengawasan distribusi dan mutu pangan melalui beberapa langkah konkret yaitu dengan mengaudit berkala terhadap produk pangan di pasar, Peningkatan kapasitas laboratorium penguji di setiap daerah, pelaksanaan sertifikasi mutu yang transparan yang dapat diakses publik, memberikan sanksi tegas pada produsen yang curang dan menyediakan kanal infomasi untuk konsumen, sehingga konsumen tahu produk apa saja yang melanggar aturan dengan cepat.
Selain itu, YAKC juga menyatakan kesiapannya untuk memberikan layanan perlindungan konsumen secara langsung, baik dalam bentuk advokasi, pendampingan hukum, maupun edukasi publik terhadap hak-hak dasar konsumen. Dengan harapan, kita dapat membangun pasar yang sehat dan adil, serta meningkatkan kesadaran konsumen dalam memilih produk yang aman dan berkualitas.
Tentang Penulis :
Rizalul Akbar adalah Ketua Yayasan Akselerasi Konsumen Cerdas (YAKC) Aceh, organisasi masyarakat sipil yang bergerak dalam advokasi, edukasi, dan perlindungan hak-hak konsumen di wilayah Aceh dan sekitarnya.
Tulisan ini merupakan bagian dari rubrik opini yang disediakan oleh Media Opsipedia. Isi artikel sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Redaksi Opsipedia menghormati keberagaman sudut pandang dan mendorong diskusi yang sehat dan konstruktif di ruang publik.
